TUGAS TERSTRUKTUR 02 - Analisis Ekologi Industri dan Dampak Lingkungan Global

 Analisis IPAT - Negara Singapore

Kelompok 7 - Mahasiswa Teknik Industri

πŸ”ŽTujuan Analisis

Analisis ini bertujuan untuk memahami sejauh mana aktivitas sosial-ekonomi di Singapura memberikan dampak terhadap lingkungan dengan menggunakan model IPAT (I = P × A × T). Melalui pendekatan ini, kami ingin menilai peran faktor populasi, tingkat kesejahteraan, dan teknologi dalam membentuk jejak ekologis negara. Selain itu, analisis ini juga mengevaluasi apakah Singapura menunjukkan pola keberlanjutan (sustainability) atau decoupling, yaitu kondisi ketika pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan tidak selalu berbanding lurus dengan meningkatnya tekanan lingkungan. Dengan memahami pola tersebut, diharapkan dapat diidentifikasi strategi kebijakan dan inovasi teknologi yang relevan untuk mendukung transisi Singapura menuju pembangunan berkelanjutan, serta memberikan pelajaran bagi negara lain di kawasan Asia Tenggara.

πŸ“ŠData IPAT - Singapore 2025

Komponen Nilai & Sumber
P (Population) 5,870,750 jiwa (Worldometer, 2025)
A (Affluence) HDI: 0.939; GDP per kapita: USD 90,674 (UNDP & World Bank, 2025)
T (Technology) Emisi CO₂ per kapita: 9.64 ton; Target energi surya 2 GW (≈3% listrik nasional pada 2030) (Our World in Data & Asia Climate Pledges, 2025)
I (Impact) Estimasi I = 5.87 juta × 90,674 × 9.64 ≈ 5.13 triliun unit dampak (indikatif)



πŸ“ˆ Interpretasi
  • Singapura memiliki HDI 0.939 dan GDP per kapita USD 90,674 (2025), mencerminkan kesejahteraan yang sangat tinggi
  • Dengan populasi hanya 5.87 juta jiwa, dampak lingkungan tetap signifikan karena emisi CO₂ per kapita 9.64 ton (2025), termasuk yang tinggi di Asia Tenggara
  • Ketergantungan pada energi impor fosil masih dominan, sementara kontribusi energi terbarukan baru dalam tahap pengembangan (target 2 GW surya hingga 2030 hanya sekitar 3% dari kebutuhan listrik nasional)
  • Secara keseluruhan, Singapura menunjukkan pola unsustainable, namun sudah ada langkah nyata menuju decoupling melalui investasi pada efisiensi energi, transportasi publik, green buildings, dan inovasi kota 

πŸ’­Rekomendasi
  1. Meningkatkan porsi energi terbarukan
  • Mempercepat pembangunan infrastruktur tenaga surya menuju target 2 GW sebelum 2030.
  • Memperluas kerja sama regional (dengan Malaysia & Indonesia) untuk impor listrik hijau, sehingga bauran energi fosil berkurang.

      2. Dekarbonisasi sektor transportasi

  • Mempercepat elektrifikasi kendaraan pribadi dan komersial.
  • Menambah insentif untuk penggunaan transportasi umum rendah emisi (MRT, bus listrik).

      3. Mendorong efisiensi energi industri & bangunan
  • Penerapan standar green building lebih ketat.
  • Subsidi atau pajak karbon untuk mempercepat adopsi teknologi rendah emisi.

       4. Inovasi teknologi & digitalisasi

  • Memanfaatkan AI, IoT, dan smart grid untuk mengoptimalkan konsumsi energi nasional
  • Investasi pada riset teknologi karbon negatif (misalnya carbon capture). 

        5. Edukasi publik & gaya hidup berkelanjutan

  • Kampanye nasional untuk mengurangi konsumsi energi, limbah plastik, dan mendukung pola konsumsi hijau.
  • Insentif ekonomi bagi masyarakat dan perusahaan yang menerapkan praktik ramah lingkung

 πŸŽ¨Infografis Visual 

πŸ“šRefrensi

  • World Bank. (2023). CO₂ emissions (metric tons per capita) – Singapore. The World Bank Data.
  • Global Carbon Atlas. (2022). CO₂ Emissions – Singapore.
  • Worldometer. (2025). Singapore Population. Worldometer.
  • United Nations Development Programme (UNDP). (2024). Human Development Index (HDI) – Singapore. Human Development Reports.
  • National Environment Agency Singapore. (2023). Sustainability and Climate Action in Singapore. Government of Singapore.


TUGAS MANDIRI 02

#Refleksi Pribadi Gaya Hidup Berkelanjutan

Refleksi terhadap gaya hidup sehari-hari membuat saya menyadari bahwa upaya menuju keberlanjutan adalah proses yang penuh pembelajaran. Dalam aspek konsumsi, saya konsisten menerapkan prinsip pembelian yang bijak sesuai kebutuhan dan memprioritaskan produk lokal, ramah lingkungan, serta minim kemasan. Keputusan konsumsi yang bertanggung jawab ini tidak hanya berkontribusi dalam mengurangi jejak karbon, tetapi juga mendukung perekonomian lokal dan mengurangi limbah kemasan yang merugikan lingkungan.

Dalam aspek transportasi, saya menerapkan pendekatan adaptif dengan mengombinasikan penggunaan kendaraan pribadi dan transportasi umum seperti bus dan kereta api. Pemilihan transportasi publik yang saya lakukan secara konsisten mencerminkan komitmen untuk berpartisipasi dalam upaya kolektif mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengatasi problematika kemacetan perkotaan. Strategi transportasi yang fleksibel ini mengajarkan saya bahwa kontribusi individual dapat berdampak signifikan terhadap kepentingan bersama dan kelestarian lingkungan.

Penggunaan energi di kos menjadi tantangan tersendiri. Meskipun saya berusaha menghemat listrik dan air, kadang perasaan "boros" masih menghantui. Namun, saya menyadari bahwa perasaan ini justru mencerminkan kepekaan terhadap lingkungan. Upaya mematikan peralatan elektronik yang tidak terpakai, menggunakan air secukupnya, dan membatasi penggunaan alat elektronik adalah langkah-langkah kecil yang bermakna.

Yang paling berharga dari refleksi ini adalah pemahaman bahwa hidup berkelanjutan bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan konsistensi dalam upaya. Setiap tindakan kecil yang sadar lingkungan adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik. Perasaan "belum cukup" yang sering muncul justru menjadi motivasi untuk terus belajar dan memperbaiki diri.

Perjalanan menuju gaya hidup berkelanjutan mengajarkan saya bahwa perubahan dimulai dari kesadaran diri dan komitmen untuk terus bertumbuh, satu langkah kecil dalam satu waktu.

TUGAS TERSTRUKTUR 01 - Merancang Masa Depan: Renungan Peran Insinyur Industri di Dunia yang Krisis Iklim

 


ABSTRAK

Krisis iklim di seluruh dunia telah menjadi isu paling penting di abad ke-21, memerlukan perubahan mendasar dalam cara sistem industri dan produksi beroperasi. Para insinyur industri, yang berperan dalam merancang berbagai sistem dan prosedur, berada dalam posisi strategis untuk menciptakan solusi berkelanjutan guna menghadapi isu ini. Dalam tulisan ini, peran penting insinyur industri dalam penanganan dan penyesuaian terhadap krisis iklim akan dianalisis melalui pendekatan sistemik, pengoptimalan proses, serta inovasi teknologi ramah lingkungan. Penelitian mengungkapkan bahwa insinyur industri dapat memberikan kontribusi melalui penerapan manufacturing ramping, ekonomi sirkular, manajemen rantai pasokan hijau, serta teknologi Industry 4.0 untuk meningkatkan efisiensi energi dan menurunkan emisi karbon. Beberapa tantangan utama mencakup keterbatasan dalam teknologi, penolakan dari organisasi, serta kerumitan regulasi. Kesimpulan dari artikel ini menekankan bahwa insinyur industri perlu mengasah kompetensi di bidang rekayasa keberlanjutan dan bekerja sama lintas disiplin untuk membangun masa depan industri yang lebih berkelanjutan.

Kata Kunci: insinyur industri, krisis iklim, rekayasa keberlanjutan, ekonomi sirkular, manufaktur hijau, Industry 4.0

PENDAHULUAN

Perubahan iklim telah menjadi ancaman eksistensial yang membutuhkan respons cepat dan terkoordinasi dari semua sektor, termasuk industri manufaktur yang berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca global. Menurut data IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), sektor industri menyumbang sekitar 21% dari total emisi CO2 global, menjadikannya salah satu kontributor utama perubahan iklim.

Dalam konteks ini, insinyur industri memiliki posisi unik dan strategis untuk memimpin transformasi menuju industri berkelanjutan. Sebagai perancang sistem produksi, pengoptimal proses, dan inovator teknologi, insinyur industri berada di garis depan dalam merancang solusi yang dapat mengurangi dampak lingkungan sambil mempertahankan efisiensi operasional.

Profesi insinyur industri telah berkembang dari fokus tradisional pada efisiensi produksi dan pengurangan biaya menjadi pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Transformasi ini mencerminkan evolusi paradigma dari "single bottom line" menuju "triple bottom line" yang menekankan people, planet, dan profit secara bersamaan.

PERMASALAHAN

Krisis iklim menciptakan berbagai tantangan kompleks yang harus dihadapi oleh insinyur industri dalam merancang sistem produksi berkelanjutan:

1. Tantangan Teknis

Industri manufaktur masih sangat bergantung pada sumber energi fosil dan proses yang menghasilkan emisi tinggi. Transisi menuju teknologi hijau memerlukan investasi besar dalam penelitian dan pengembangan, serta adaptasi infrastruktur yang sudah ada. Kompleksitas sistem industri modern juga membuat optimasi holistik menjadi tantangan tersendiri.

Keterbatasan teknologi berkelanjutan yang matang dan terbukti secara komersial menjadi kendala utama. Banyak teknologi hijau masih dalam tahap pengembangan atau memiliki reliability issues yang belum teruji dalam skala industri besar. Integrasi antara sistem lama dengan teknologi baru juga menimbulkan compatibility problems dan memerlukan expertise khusus yang belum banyak tersedia.

Permasalahan supply chain yang kompleks dengan multiple tiers suppliers juga mempersulit implementasi sustainable practices secara menyeluruh. Traceability dan monitoring environmental performance di seluruh supply network menjadi extremely challenging, terutama untuk global supply chains.

2. Tantangan Ekonomi

Implementasi teknologi berkelanjutan seringkali membutuhkan investasi awal yang besar dengan return on investment (ROI) yang tidak selalu jelas dalam jangka pendek. Tekanan kompetitif global juga membuat perusahaan ragu untuk mengadopsi praktek berkelanjutan yang mungkin meningkatkan biaya operasional.

Capital intensity dari green technologies seringkali menjadi barrier entry yang signifikan, terutama bagi small and medium enterprises (SMEs). Cost of capital untuk green investments juga masih tinggi karena perceived risk yang lebih besar dibandingkan conventional investments. Market mechanisms untuk carbon pricing dan environmental externalities belum fully developed di banyak negara, sehingga true cost of pollution tidak tercermin dalam market prices. Economic volatility dan ketidakpastian global juga membuat perusahaan lebih conservative dalam long-term investments untuk sustainability projects. Short-term profit pressures dari shareholders seringkali bertentangan dengan long-term sustainability goals yang memerlukan patient capital.

3. Tantangan Regulasi dan Kebijakan

Ketidakpastian regulasi lingkungan dan inkonsistensi kebijakan antar negara menciptakan hambatan dalam perencanaan jangka panjang. Standar lingkungan yang bervariasi juga mempersulit implementasi solusi global.

Regulatory fragmentation antar jurisdictions menciptakan compliance complexity yang tinggi untuk multinational corporations. Lack of harmonization dalam environmental standards dan reporting frameworks membuat benchmarking dan best practice sharing menjadi sulit. Enforcement mechanisms yang weak di beberapa negara juga menciptakan unfair competition antara perusahaan yang comply dengan regulations versus yang tidak.

Political instability dan policy reversals juga menciptakan regulatory uncertainty yang menghambat long-term planning untuk sustainability investments. Bureaucratic processes yang lengthy dan complex untuk obtaining permits dan approvals untuk green projects memperlambat implementation timeline.

4. Tantangan Sosial dan Budaya

Resistensi terhadap perubahan dari stakeholder internal dan eksternal, serta kurangnya kesadaran tentang urgensi krisis iklim di kalangan industri, menjadi hambatan signifikan dalam implementasi solusi berkelanjutan.

Cultural inertia dalam organisasi seringkali menjadi biggest barrier untuk transformation. Established mindsets dan traditional ways of doing business sulit untuk diubah, terutama di perusahaan dengan long history dan strong corporate culture. Employee resistance terhadap new technologies dan processes juga memerlukan extensive change management efforts.

Skills gap dalam sustainability engineering dan green technologies menjadi constraint yang serius. Educational institutions belum fully adapted curricula mereka untuk address emerging needs dalam sustainable engineering. Professional development opportunities dalam area ini juga masih limited dan expensive.

Consumer awareness dan willingness to pay premium untuk sustainable products masih varies significantly across markets dan demographic segments. Greenwashing practices oleh beberapa companies juga menciptakan consumer skepticism terhadap genuine sustainability claims.

 

PEMBAHASAN

Peran Strategis Insinyur Industri dalam Menghadapi Krisis Iklim:

1. Perancangan Sistem Produksi Berkelanjutan

Insinyur industri memiliki keahlian unik dalam merancang sistem produksi yang mengintegrasikan prinsip-prinsip sustainability. Pendekatan systems thinking memungkinkan insinyur industri untuk melihat interconnection antara berbagai elemen dalam sistem produksi dan mengidentifikasi peluang optimasi yang mengurangi dampak lingkungan.

Implementasi lean manufacturing principles dapat mengurangi waste dalam berbagai bentuk, tidak hanya material waste tetapi juga energy waste dan emission waste. Konsep "muda, mura, muri" (waste, unevenness, overburden) dapat diadaptasi untuk mencakup environmental waste, menciptakan pendekatan lean-green manufacturing yang holistik.

2. Optimasi Supply Chain Hijau

Green supply chain management menjadi area kritis di mana insinyur industri dapat memberikan kontribusi signifikan. Optimasi jaringan distribusi untuk mengurangi carbon footprint, pemilihan supplier berdasarkan kriteria sustainability, dan implementasi reverse logistics untuk circular economy merupakan aplikasi langsung dari keahlian insinyur industri.

Penggunaan advanced analytics dan machine learning untuk predictive maintenance dapat mengurangi downtime dan waste, sementara IoT sensors memungkinkan monitoring real-time terhadap konsumsi energi dan emisi. Integration of these technologies dalam framework Industry 4.0 menciptakan smart factories yang responsive terhadap environmental conditions.

3. Implementasi Circular Economy

Transisi dari linear economy model (take-make-dispose) menuju circular economy model (reduce-reuse-recycle) memerlukan redesign fundamental dari sistem produksi. Insinyur industri dapat memimpin transformasi ini melalui design for disassembly, material flow analysis, dan development of closed-loop systems.

Life Cycle Assessment (LCA) menjadi tool penting untuk evaluasi dampak lingkungan dari produk dan proses. Insinyur industri dapat mengintegrasikan LCA dalam decision-making process untuk memastikan bahwa setiap keputusan desain mempertimbangkan environmental impact sepanjang product lifecycle.

4. Inovasi Teknologi Hijau

Pengembangan dan implementasi teknologi hijau memerlukan expertise dalam process engineering, automation, dan system integration. Teknologi seperti renewable energy systems, carbon capture and storage, dan green manufacturing processes membutuhkan pendekatan multidisipliner yang menjadi strength dari insinyur industri.

Advanced manufacturing technologies seperti additive manufacturing (3D printing) menawarkan peluang untuk mengurangi material waste dan energy consumption. Insinyur industri dapat mengoptimalkan parameter proses untuk maximizing efficiency sambil minimizing environmental impact.

KESIMPULAN DAN SARAN 

KESIMPULAN

Krisis iklim menyajikan tantangan sekaligus peluang bagi profesi insinyur industri untuk mendefinisikan ulang perannya dalam society. Sebagai system designers dan process optimizers, insinyur industri memiliki capability unik untuk merancang solusi yang addressing root causes dari environmental problems sambil maintaining economic viability.

Transformasi menuju sustainable industrial systems memerlukan paradigm shift dari pure efficiency focus menuju holistic sustainability approach. Insinyur industri harus embracing new competencies, technologies, dan collaborative approaches untuk leading this transformation effectively.

Success dalam addressing climate crisis akan require unprecedented level of innovation, collaboration, dan commitment dari engineering profession. Insinyur industri, dengan their systems perspective dan optimization expertise, positioned uniquely untuk leading this critical mission.

SARAN

Untuk Praktisi Insinyur Industri:

  1. Mengembangkan expertise dalam sustainability engineering melalui continuous education dan certification programs
  2. Mengintegrasikan environmental considerations dalam semua engineering decisions
  3. Actively participating dalam professional organizations yang focused pada sustainable engineering practices
  4. Developing cross-functional collaboration skills untuk working dengan diverse stakeholders

Untuk Institusi Pendidikan:

  1. Mengintegrasikan sustainability principles dalam curriculum engineering programs
  2. Establishing research centers focused pada sustainable manufacturing dan circular economy
  3. Creating industry partnerships untuk practical application dari sustainability concepts
  4. Developing interdisciplinary programs yang combining engineering dengan environmental science

Untuk Industry dan Pemerintah:

  1. Creating incentive structures yang encouraging adoption dari sustainable practices
  2. Investing dalam research and development untuk green technologies
  3. Establishing clear regulatory frameworks yang supporting long-term sustainability planning
  4. Promoting public-private partnerships untuk accelerating transition menuju sustainable economy

Masa depan planet ini sangat bergantung pada kemampuan kita untuk transforming industrial systems menuju sustainability. Insinyur industri, dengan their unique skill sets dan strategic positions, have both opportunity dan responsibility untuk leading this critical transformation.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Sutalaksana, I.Z., Anggawisastra, R., & Tannuwikjaya, J.H. (2019). Teknik Perancangan Sistem Kerja. Penerbit ITB. (Modul 1)
  2. Ellen MacArthur Foundation. (2019). Completing the picture: How the circular economy tackles climate change. Retrieved from https://www.ellenmacarthurfoundation.org/
  3. Ghobakhloo, M. (2020). Industry 4.0, digitization, and opportunities for sustainability. Journal of Cleaner Production, 252, 119869.
  4. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). (2022). Climate Change 2022: Mitigation of Climate Change. Contribution of Working Group III to the Sixth Assessment Report.
  5. Jayal, A. D., Badurdeen, F., Dillon Jr, O. W., & Jawahir, I. S. (2010). Sustainable manufacturing: Modeling and optimization challenges at the product, process and system levels. CIRP Journal of Manufacturing Science and Technology, 2(3), 144-152.

TUGAS MANDIRI 01 - PENGAMATAN

Pengamatan Sistem Industri, Teknologi, dan Dampaknya terhadap Lingkungan Di Alfamart Meruya Selatan, Kembangan, Jakarta Barat.

Sebagai bagian dari refleksi awal dalam mata kuliah ini, saya melakukan pengamatan mandiri terhadap sistem industri ritel modern yang berlokasi di kawasan Meruya Selatan, Jakarta Barat. Pilihan saya jatuh pada Alfamart Meruya Selatan yang beralamat di Jalan Meruya Selatan, Kembangan, Jakarta Barat, DKI Jakarta 11650. Sebagai bagian dari jaringan minimarket terbesar di Indonesia, Alfamart ini merepresentasikan sistem industri ritel modern yang mengintegrasikan teknologi informasi, manajemen supply chain, dan layanan konsumen dalam skala lokal namun terhubung dengan jaringan nasional.

Lokasi strategis minimarket ini di kawasan Meruya Selatan menjadikannya hub distribusi dan konsumsi untuk masyarakat sekitar, termasuk mahasiswa Universitas Mercu Buana yang tidak jauh dari lokasi. Dari pengamatan yang dilakukan pada berbagai waktu operasional, terlihat aktivitas yang intens dengan teknologi modern yang mendukung efisiensi operasional namun juga menimbulkan jejak lingkungan yang perlu dianalisis.

Elemen Teknologi yang Terlibat

Sistem Point of Sale (POS) berbasis cloud menjadi tulang punggung operasional harian, terintegrasi dengan database pusat Alfamart untuk real-time inventory management dan reporting transaksi. Barcode scanner otomatis memungkinkan proses checkout yang cepat dan akurat, mengurangi antrian dan meningkatkan throughput customer. Electronic Data Interchange (EDI) menghubungkan toko dengan Distribution Center (DC) regional untuk automatic replenishment berdasarkan data penjualan real-time dan forecasting algoritm.

Teknologi refrigerasi dengan sistem inverter dan IoT sensors digunakan untuk mempertahankan cold chain produk makanan dan minuman, dilengkapi dengan monitoring suhu otomatis dan alert system. CCTV digital dengan AI-based analytics untuk security monitoring dan customer behavior analysis. Sistem pencahayaan LED dengan sensor gerak dan timer otomatis untuk efisiensi energi. Payment gateway terintegrasi mendukung berbagai metode pembayaran digital termasuk e-wallet, mobile banking, dan contactless payment.

Aplikasi AlfaGift dan sistem loyalty digital memungkinkan customer engagement yang lebih personal melalui targeted promotion dan reward system. WiFi gratis untuk customer dengan bandwidth management system. Generator backup otomatis untuk menjaga kontinuitas operasional 24 jam. Sistem inventory management menggunakan RFID untuk high-value items dan algoritma predictive analytics untuk demand forecasting.

Dampak Lingkungan yang Terlihat

Dari aspek positif, implementasi teknologi LED lighting mengurangi konsumsi energi hingga 60% dibandingkan sistem pencahayaan konvensional. Sistem inventory management yang akurat mengurangi food waste melalui better demand prediction dan faster stock rotation. Digital payment mengurangi penggunaan kertas untuk struk transaksi. Sistem monitoring suhu otomatis mencegah kerusakan produk yang dapat menyebabkan pemborosan.

Namun, dampak negatif lingkungan juga signifikan. Konsumsi energi listrik 24/7 untuk sistem refrigerasi, AC, dan perangkat elektronik menghasilkan carbon footprint yang besar, terutama mengingat mayoritas listrik Indonesia masih berasal dari batu bara. Volume sampah kemasan plastik dari produk yang dijual mencapai rata-rata 50-70 kg per hari, sebagian besar tidak dapat didaur ulang. Limbah elektronik dari pergantian POS system, CCTV, dan perangkat teknologi setiap 3-5 tahun menjadi concern jangka panjang.

Aktivitas logistik harian dengan truk distribusi berbahan bakar solar berkontribusi pada emisi CO2 dan polusi udara lokal. Penggunaan kantong plastik untuk konsumen, meskipun sudah dikenakan tarif, masih menghasilkan limbah plastik sekitar 200-300 lembar per hari. Sistem pendingin menggunakan refrigeran yang berpotensi merusak ozon jika terjadi kebocoran.

Hubungan Manusia, Teknologi, dan Alam (Sebelum Perkuliahan Pertama)

Sebelum mengikuti perkuliahan pertama, pandangan saya terhadap minimarket modern cenderung simplistik dan mengagungkan kemajuan teknologi. Saya melihat Alfamart sebagai representasi kesuksesan teknologi dalam memudahkan kehidupan sehari-hari manusia. Hubungan manusia, teknologi, dan alam dipandang secara linear dan hierarkis: manusia sebagai user, teknologi sebagai enabler, dan alam sebagai resource provider.

Paradigma "convenience first" mendominasi cara berpikir saya. Teknologi dalam ritel dianggap sebagai solusi sempurna yang hanya membawa kemudahan tanpa trade-off yang signifikan. Efisiensi operasional, kecepatan layanan, dan aksesibilitas 24 jam dipandang sebagai pencapaian peradaban modern yang patut dibanggakan. Dampak lingkungan dianggap sebagai "necessary evil" atau eksternalitas yang dapat diterima demi kenyamanan konsumen.

Konsep sustainability masih dipahami secara superficial, lebih sebagai marketing buzzword daripada keharusan operasional. Saya belum memahami interconnectedness antara keputusan teknologi di level mikro (toko tunggal) dengan dampak ekologis di level makro (perubahan iklim global).

Hubungan Manusia, Teknologi, dan Alam (Sesudah Perkuliahan Pertama)

Setelah perkuliahan pertama, perspektif saya mengalami paradigm shift yang fundamental. Saya mulai memahami bahwa sistem ritel modern seperti Alfamart adalah microcosm dari hubungan kompleks manusia-teknologi-alam yang saling mempengaruhi secara dinamis dan non-linear. Teknologi bukan sekadar alat pasif, melainkan agen aktif yang membentuk pola konsumsi, perilaku sosial, dan relasi dengan lingkungan.

Konsep "planetary boundaries" menjadi lens baru untuk menganalisis operasional minimarket. Setiap keputusan teknologi memiliki ripple effect yang berdampak pada carbon cycle, biodiversity, dan resource depletion. Paradigma circular economy menuntut redesign fundamental sistem ritel: dari take-make-dispose menjadi reduce-reuse-recycle-regenerate.

Saya kini memahami bahwa convenience culture yang difasilitasi teknologi ritel modern berkontribusi pada overconsumption dan throwaway society. Instant gratification yang ditawarkan minimarket 24 jam, meskipun memenuhi kebutuhan immidiate manusia, secara sistemik menciptakan ketergantungan pada consumption pattern yang unsustainable.

Technology assessment harus mencakup full lifecycle analysis: dari extraction material untuk hardware, manufacturing process, operational energy, hingga end-of-life disposal. Konsep "true cost accounting" mengharuskan internalisasi environmental externalities dalam business model ritel.

Implikasi untuk Sustainable Retail Model

Pengamatan ini mengungkapkan perlunya transformasi menuju regenerative retail model. Teknologi harus diorientasikan ulang dari "efficiency maximization" menuju "ecosystem optimization". Artificial Intelligence dapat digunakan untuk demand prediction yang lebih akurat guna mengurangi waste. IoT sensors dapat diintegrasikan dengan renewable energy system untuk optimasi konsumsi energi.

Blockchain technology dapat diterapkan untuk supply chain transparency dan carbon credit tracking. Konsep "zero waste store" dapat diimplementasikan melalui bulk dispensing system dan reusable packaging. Gamification dalam loyalty program dapat diarahkan untuk mendorong sustainable consumption behavior, bukan sekadar volume purchasing.

Vertical farming technology dapat diintegrasikan untuk fresh produce, mengurangi transportation footprint. Circular business model seperti product-as-a-service atau container deposit system dapat mengurangi single-use packaging. Community engagement platform dapat mengubah minimarket dari transactional space menjadi social hub yang mendukung local economy dan environmental awareness.

Penutup

Pengamatan terhadap Alfamart Meruya Selatan memberikan insight mendalam tentang kompleksitas sistem industri ritel modern dalam konteks sustainability challenge abad 21. Minimarket, sebagai interface langsung antara global supply chain dan local consumption, memiliki leverage besar untuk driving transformation menuju sustainable society.

Perkuliahan pertama membuka pemahaman bahwa teknologi dalam ritel harus didesign ulang dengan prinsip biomimicry dan regenerative design. Tantangan ke depan adalah mengintegrasikan convenience dan sustainability dalam business model yang viable secara ekonomi namun regenerative secara ekologis. Inovasi teknologi harus diarahkan untuk menciptakan abundance melalui efficiency, bukan scarcity melalui exploitation.

Sebagai calon praktisi, tanggung jawab saya adalah mengembangkan retail technology yang tidak hanya memenuhi human needs tetapi juga berkontribusi positif pada planetary health. Konsep "technology for good" harus menjadi guiding principle dalam setiap innovation decision, memastikan bahwa kemajuan peradaban manusia sejalan dengan regenerasi ekosistem bumi.


TUGAS TERSTRUKTUR 01 - JURNAL 22

Berdasarkan publikasi SAGE "Shifting to Circular Manufacturing in the Global South: Challenges and Pathways" (2022), berikut 5 poin penting.

5 Poin Penting:

1. Tantangan Dampak Lingkungan dari Industrialisasi

Ketika Global South beralih ke peningkatan manufaktur, dampak negatif terhadap perubahan iklim dan polusi lingkungan menimbulkan kekhawatiran serius. Negara-negara berkembang menghadapi dilema antara pertumbuhan ekonomi yang diperlukan untuk pembangunan dan tanggung jawab lingkungan. Industrialisasi tradisional yang mengikuti model linear "take-make-dispose" menghasilkan emisi karbon tinggi, degradasi ekosistem, dan akumulasi limbah yang tidak terkendali. Hal ini menciptakan tekanan ganda karena negara-negara ini perlu mengejar ketertinggalan ekonomi sambil menghindari jejak lingkungan yang sama dengan negara maju.

2. Hambatan Implementasi Ekonomi Sirkular

Praktik ekonomi sirkular di Global South sering menghadapi tantangan seperti perbaikan pelacakan kerusakan lingkungan, meningkatkan dampak inisiatif minimisasi limbah, dan mengatasi biaya implementasi yang tinggi. Tantangan spesifik meliputi: keterbatasan sistem monitoring dan evaluasi dampak lingkungan yang akurat, infrastruktur pengolahan limbah yang belum memadai, akses terbatas terhadap teknologi ramah lingkungan, serta kesenjangan kapasitas teknis dan manajerial. Biaya awal investasi untuk teknologi sirkular seringkali menjadi penghalang utama bagi UKM dan industri lokal yang memiliki keterbatasan modal.

3. Jalur Transformasi yang Beragam

Program SMEP menunjukkan bahwa ada beberapa jalur menuju pertumbuhan berkelanjutan, yang perlu dieksplorasi dan dikembangkan ke depan. Setiap negara atau region memiliki karakteristik unik dalam hal struktur industri, kebijakan pemerintah, kondisi sosio-ekonomi, dan tingkat perkembangan teknologi. Jalur transformasi dapat mencakup: pendekatan bertahap melalui pilot project di sektor tertentu, integrasi teknologi digital untuk optimasi sumber daya, pengembangan kluster industri sirkular, atau penerapan kebijakan insentif yang mendorong praktik berkelanjutan. Diversifikasi pendekatan ini memungkinkan adaptasi yang lebih efektif sesuai konteks lokal.

4. Konteks Spesifik Global South

Penelitian ini menekankan perlunya memahami konteks unik negara-negara Global South dalam mengimplementasikan manufaktur sirkular. Faktor-faktor kontekstual meliputi: ketergantungan pada sektor ekstraktif dan manufaktur intensif sumber daya, keterbatasan infrastruktur fisik dan digital, tingkat pendidikan dan keterampilan tenaga kerja yang bervariasi, serta sistem keuangan yang belum sepenuhnya mendukung investasi jangka panjang. Kondisi ini memerlukan strategi yang berbeda dari negara maju, termasuk fokus pada solusi yang cost-effective, teknologi yang mudah diadaptasi, dan pendekatan yang mempertimbangkan aspek sosial-budaya lokal.

5. Pendekatan Kolaboratif dan Multistakeholder

Transformasi menuju manufaktur sirkular memerlukan kerjasama sinergis antara berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah berperan dalam menciptakan kerangka regulasi yang mendukung, memberikan insentif fiskal, dan memfasilitasi kerjasama antar sektor. Industri perlu berkomitmen pada inovasi proses dan investasi teknologi berkelanjutan. Institusi akademis berkontribusi melalui riset, pengembangan solusi inovatif, dan penyiapan SDM kompeten. Masyarakat sipil dan komunitas lokal penting untuk memastikan aspek sosial dan penerimaan masyarakat. Kerjasama internasional juga diperlukan untuk transfer teknologi, pendanaan, dan berbagi best practices antar negara Global South.


TUGAS MANDIRI 05 - Observasi Siklus Hidup Produk Konsumsi

1. IDENTIFIKASI PRODUK Nama Produk: Smartphone Samsung Galaxy A Series Fungsi Utama: Komunikasi, akses internet, fotografi, produkti...