1. IDENTIFIKASI PRODUK
Nama Produk:
Smartphone Samsung Galaxy A Series
Fungsi Utama:
Komunikasi, akses internet, fotografi, produktivitas, hiburan, dan berbagai
aplikasi digital
Perkiraan Masa Pakai:
3-4 tahun (rata-rata penggunaan konsumen Indonesia), meskipun secara teknis
dapat bertahan 5-7 tahun
2. FASE-FASE SIKLUS HIDUP PRODUK
Fase 1: Ekstraksi Bahan Baku
Material yang Dibutuhkan:
- Logam
langka: Lithium, cobalt, nikel (untuk
baterai)
- Rare
earth elements: Neodymium, dysprosium, praseodymium
(untuk speaker, vibrator, kamera)
- Logam
umum: Aluminum (body), tembaga (circuit board), emas,
perak (connector)
- Plastik:
Polycarbonate, ABS plastic (casing)
- Kaca:
Gorilla Glass (layar)
- Silicon:
Untuk chip processor dan memori
Lokasi Ekstraksi:
- Tambang
cobalt: Republik Demokratik Kongo (60% supply global)
- Tambang
lithium: Australia, Chile, Argentina
- Rare
earth: China (80% produksi global)
- Silicon: Amerika Serikat, China, Jerman
Fase 2: Proses Produksi
Tahapan Manufacturing:
A. Pembuatan Komponen (Tier 2-3
Suppliers):
- Chip
processor: TSMC (Taiwan), Samsung Foundry (Korea)
- Display
AMOLED: Samsung Display, BOE (China)
- Kamera
module: Sony, Samsung Electro-Mechanics
- Baterai:
Samsung SDI, LG Energy Solution
- Memory:
Samsung Semiconductor, SK Hynix
B. Assembly Final (Tier 1):
- Lokasi
utama: Vietnam (Samsung memiliki 8 pabrik), India, Korea Selatan
- Proses:
Surface Mount Technology (SMT), assembly robotik, quality testing
- Waktu
produksi: 3-5 jam per unit
- Pekerja:
Kombinasi otomasi dan tenaga kerja manual
C. Quality Control & Testing:
- Functional
testing, water resistance testing, camera calibration
- Packaging
dengan material karton, plastik protective film
Fase 3: Distribusi dan Transportasi
A. Logistik Internasional:
- Pengiriman
dari pabrik Vietnam/India ke distribution center regional
- Moda:
Container ship (laut) - 95% volume
- Rute:
Vietnam → Singapura → Jakarta (Tanjung Priok)
- Waktu
tempuh: 7-14 hari
B. Distribusi Domestik:
- Dari
pelabuhan ke warehouse distributor (Jakarta, Surabaya, Medan)
- Truck
logistik ke retail stores nasional dan regional
- Last-mile
delivery untuk e-commerce (Go-Send, Grab, JNE, dll)
C. Retail:
- Official
stores (Samsung Experience Store)
- Multi-brand
retailers (Erafone, iBox, dll)
- E-commerce
platforms (Tokopedia, Shopee, Lazada)
Fase 4: Penggunaan oleh Konsumen
Pattern Penggunaan Tipikal:
- Daily
charging: 1-2 kali per hari (0.015 kWh/charge)
- Screen
time: 4-6 jam per hari rata-rata
- Data
consumption: 5-15 GB per bulan
- Software
updates: 2-3 major updates selama lifetime
Maintenance:
- Cleaning
screen dan body
- Battery
health degradation: 80% capacity setelah 2 tahun
- Common
issues: Screen crack, battery swelling, slow performance
Accessories:
- Screen
protector (replaced 2-3x)
- Phone
case (replaced 1-2x)
- Charging
cable (replaced 1-2x karena rusak)
Fase 5: Pengelolaan Limbah atau Akhir Masa
Pakai
Skenario End-of-Life:
A. Replacement (paling umum - 65%):
- Dijual
di pasar second-hand (OLX, Facebook Marketplace)
- Trade-in
ke retailer untuk diskon pembelian baru
- Disimpan
sebagai backup phone
B. Donation/Hand-down (20%):
- Diberikan
ke anggota keluarga
- Disumbangkan
ke yayasan/sekolah
C. E-waste (15%):
- Dibuang
ke tempat sampah regular (improper disposal)
- Dibawa
ke informal recycler (tukang loak)
- Proper
e-waste collection (Samsung Service Center, drop box)
D. Proses Recycling (jika masuk jalur
formal):
- Manual
disassembly untuk komponen bernilai
- Shredding
dan separasi material (magnetic, eddy current)
- Chemical
extraction untuk recovery logam mulia
- Recovery
rate: 30-50% material (tergantung teknologi)
3. ANALISIS POTENSI DAMPAK LINGKUNGAN
FASE 1: Ekstraksi Bahan Baku
Konsumsi Energi:
Fase ini merupakan yang paling energy-intensive dalam seluruh siklus hidup
smartphone. Ekstraksi cobalt membutuhkan 85 kWh per kilogram material yang
ditambang, sementara lithium bahkan lebih tinggi dengan 450 kWh per kilogram.
Untuk satu unit smartphone yang hanya membutuhkan beberapa gram dari
masing-masing material ini, agregat konsumsi energi ekstraksi mencapai tingkat
yang sangat tinggi. Proses ini didominasi oleh penggunaan bahan bakar fosil
karena lokasi tambang umumnya di area terpencil tanpa akses ke grid listrik
stabil.
Emisi Gas Rumah Kaca:
Fase ekstraksi berkontribusi 10-15 kg CO₂e per smartphone, yang merupakan
sekitar 50% dari total lifecycle emissions. Emisi ini berasal dari kombinasi
penggunaan heavy machinery berbahan bakar diesel, proses pemurnian yang
energy-intensive, dan deforestasi untuk akses tambang. Ekstraksi rare earth
elements menghasilkan emisi tambahan karena prosesnya yang kompleks dan
penggunaan asam kuat dalam pemisahan material.
Penggunaan Air:
Aspek ini sangat mengkhawatirkan, terutama untuk ekstraksi lithium. Satu
smartphone membutuhkan sekitar 13.000 liter air untuk proses ekstraksi lithium
di Atacama Desert, Chile. Metode evaporation untuk lithium brine mengkonsumsi
air dalam jumlah massif di region yang sudah mengalami water stress. Untuk
cobalt, proses washing dan refining juga membutuhkan ribuan liter air per
kilogram material. Impact-nya sangat signifikan bagi komunitas lokal yang harus
berkompetisi untuk akses air bersih.
Limbah Padat:
Mining waste merupakan dampak terbesar dalam kategori ini. Untuk setiap
kilogram logam yang diekstraksi, dihasilkan 100-200 kilogram tailing dan
overburden. Limbah tambang ini sering mengandung heavy metals dan chemical
residue dari proses extraction yang dapat mencemari tanah dan air tanah selama
puluhan tahun. Di Indonesia, tambang nikel untuk baterai smartphone telah
menghasilkan jutaan ton tailing yang disposal-nya masih menjadi masalah.
Potensi Daur Ulang:
Pada fase ini, konsep daur ulang tidak applicable karena ini adalah virgin
material extraction. Namun, mining waste sebenarnya memiliki potensi untuk
di-reprocess dengan teknologi yang lebih advanced—beberapa tailing mengandung
mineral berharga yang tidak ter-extract dengan teknologi lama. Secondary mining
dari tailing dumps menjadi area riset yang menjanjikan untuk mengurangi
kebutuhan virgin extraction di masa depan.
FASE 2: Proses Produksi
Konsumsi Energi:
Fase manufaktur mengkonsumsi 120-150 kWh per unit smartphone. Energy ini
digunakan untuk berbagai proses: chip fabrication (yang paling
energy-intensive), PCB assembly dengan soldering reflow ovens, display
manufacturing, dan final assembly. Pabrik Samsung di Vietnam dan India
mengoperasikan production line 24/7 dengan konsumsi listrik setara kota kecil.
Sebagian besar energi ini masih berasal dari coal power plants, meskipun
Samsung telah mulai transisi ke renewable energy di beberapa facility.
Emisi Gas Rumah Kaca:
Manufacturing menghasilkan 8-12 kg CO₂e per smartphone. Emisi ini tidak hanya
dari electricity consumption, tetapi juga dari process emissions—misalnya,
produksi chip semiconductor menggunakan perfluorinated compounds yang merupakan
greenhouse gas dengan global warming potential ribuan kali lebih tinggi dari
CO₂. Clean room requirements yang membutuhkan air conditioning konstan juga
berkontribusi signifikan terhadap carbon footprint.
Penggunaan Air:
Proses produksi smartphone sangat water-intensive, membutuhkan 3.000-5.000
liter per unit. Air digunakan untuk cooling systems pada machinery, ultrapure
water untuk cleaning PCB dan chip wafers, dan berbagai chemical processes. Chip
fabrication khususnya membutuhkan ultrapure water dengan kontaminasi kurang
dari 1 part per billion, yang proses purifikasi-nya sendiri sangat energy dan
water intensive. Wastewater yang dihasilkan mengandung berbagai chemical dan
heavy metals yang harus di-treat sebelum disposal.
Limbah Padat:
Production waste mencakup PCB scrap dari cutting process, plastic trim dari
injection molding, defective components yang tidak pass quality control, dan
packaging materials. Total limbah padat sekitar 200-300 gram per unit. Meskipun
terdengar kecil, dengan produksi global mencapai 1.5 miliar units per tahun,
ini berarti ratusan ribu ton waste. Kabar baiknya, production scrap rate
relatif rendah (2-5%) dan sebagian besar dapat di-reprocess atau dijual ke
recycler.
Limbah Cair:
Chemical waste dari manufacturing merupakan concern lingkungan serius. Proses
etching PCB menggunakan asam kuat, electroplating untuk connector menghasilkan
wastewater dengan heavy metals (copper, nickel, gold), dan flux residue dari
soldering mengandung organic compounds berbahaya. Meskipun pabrik modern
memiliki wastewater treatment plants, efisiensi treatment tidak 100% dan masih
ada chemical residue yang masuk ke water bodies.
Potensi Daur Ulang:
Production waste memiliki recyclability tinggi. Aluminum dan copper scrap dari
manufacturing dapat di-recycle dengan efficiency hampir 100%. PCB scrap dijual
ke specialized recycler yang extract logam mulia. Plastic trim dapat
di-reprocess menjadi lower-grade plastic untuk non-critical components. Samsung
dan manufacturer lain telah implementasi closed-loop system di mana production
waste langsung di-feed back ke supply chain, mengurangi kebutuhan virgin
materials hingga 15-20%.
FASE 3: Distribusi dan Transportasi
Konsumsi Energi:
Transportation phase relatif energy-efficient per unit karena economies of
scale. Satu container ship dapat membawa 15.000-20.000 smartphones, sehingga
konsumsi energi per unit hanya 2-3 kWh. Maritime transport sangat efisien
dengan hanya 0.02 kg CO₂ per ton-kilometer. Namun, last-mile delivery—terutama
untuk e-commerce—jauh lebih energy intensive. Motorcycle delivery untuk satu
unit smartphone bisa mengkonsumsi setara dengan shipping dari Vietnam ke
Indonesia jika rute tidak dioptimalkan.
Emisi Gas Rumah Kaca:
Total transport emissions sekitar 1.5-2.5 kg CO₂e per smartphone, yang
merupakan porsi kecil (3-5%) dari total lifecycle emissions. Container ship
berkontribusi sekitar 0.8 kg, trucking distribution 0.5 kg, dan last-mile
delivery 0.3-0.7 kg tergantung moda dan efisiensi rute. E-commerce delivery
dengan failed delivery attempts atau non-consolidated routes dapat meningkatkan
transport emissions hingga 50%. Urban congestion juga faktor
signifikan—delivery truck yang terjebak macet di Jakarta menghasilkan emisi
lebih tinggi per kilometer.
Penggunaan Air:
Water consumption pada fase distribusi minimal dan indirect, hanya untuk
vehicle maintenance dan cleaning. Aspek ini tidak signifikan dibanding fase
lain dalam lifecycle.
Limbah Padat:
Packaging waste adalah concern utama. Setiap smartphone dikemas dengan
cardboard box, plastic protective film, foam insert, dan accessories packaging.
Total packaging material sekitar 150-200 gram per unit. Cardboard dapat
di-recycle dengan mudah, tetapi plastic film dan foam sulit masuk value chain
recycling karena low economic value. Di Indonesia, sebagian besar packaging
berakhir di landfill atau dibakar. E-commerce menambah layer packaging tambahan
untuk shipping protection, meningkatkan waste hingga 50%.
Potensi Daur Ulang:
Packaging memiliki potensi recyclability tinggi jika terdapat infrastructure
yang memadai. Cardboard box dapat di-recycle hingga 5-7 kali sebelum fiber
terlalu pendek. Samsung dan beberapa brand telah beralih ke 100% recycled
cardboard untuk packaging. Plastic film teoritis recyclable, tetapi praktiknya
sulit karena contamination dan economic viability rendah. Solution terbaik
adalah packaging minimization dan reusable packaging untuk B2B distribution.
FASE 4: Penggunaan oleh Konsumen
Konsumsi Energi: Use
phase mengkonsumsi 5-6 kWh per tahun untuk charging, atau sekitar 20-25 kWh
over 4-year lifetime. Ini terlihat kecil, tetapi agregat dari miliaran
smartphone global sangat signifikan. Selain direct charging energy, ada
indirect energy dari data centers untuk cloud services, streaming, dan app
usage—diperkirakan 10-15 kWh per tahun. User behavior sangat mempengaruhi:
overcharging overnight, using fast charger unnecessarily, dan max brightness
setting dapat meningkatkan energy consumption hingga 30%.
Emisi Gas Rumah Kaca:
Use phase emissions sangat tergantung grid electricity mix. Di Indonesia dengan
coal-dominated grid (emission factor 0.85 kg CO₂/kWh), charging smartphone
menghasilkan 15-20 kg CO₂e over lifetime. Di negara dengan renewable energy
dominance seperti Iceland, emissions bisa kurang dari 2 kg. Ini menunjukkan
pentingnya transisi energi nasional untuk mengurangi product use phase
emissions. Behavioral change juga penting—mengisi daya dengan solar panel
portable dapat eliminate use phase emissions completely.
Penggunaan Air:
Use phase memiliki water consumption negligible, hanya untuk occasional
cleaning dengan damp cloth. Aspek ini tidak material dalam lifecycle
assessment.
Limbah Padat:
Accessories replacement menghasilkan waste modest tetapi signifikan secara
agregat. Selama 4 tahun, user rata-rata mengganti 2-3 screen protectors
(tempered glass), 1-2 phone cases, dan 1-2 charging cables. Total waste sekitar
50-100 gram, mayoritas plastic yang sulit di-recycle. Cables khususnya
problematic karena mixed materials (plastic insulation, copper wire, metal
connector) yang sulit untuk disassemble. E-commerce fast fashion culture untuk
phone accessories memperburuk waste problem—orang membeli multiple cases untuk
aesthetic variety, bukan functional needs.
Potensi Daur Ulang:
Accessories memiliki recyclability rendah karena mixed materials dan economic
viability rendah. Phone cases biasanya thermoplastic yang teoritis recyclable,
tetapi praktiknya berakhir di landfill. Tempered glass screen protectors tidak
masuk glass recycling stream karena treatment coating dan ukuran kecil. Cables
paling berpotensi karena copper content, tetapi membutuhkan manual stripping
yang labor intensive. Solution terbaik adalah designing durable accessories dan
mengurangi frequent replacement driven by fashion trend.
FASE 5: Pengelolaan Limbah / Akhir Masa
Pakai
Konsumsi Energi:
Formal recycling process mengkonsumsi 5-8 kWh per unit untuk dismantling,
shredding, separation, dan recovery processes. Ini terdengar tinggi, tetapi
dibanding 120-150 kWh untuk manufacturing unit baru dari virgin materials,
recycling menghemat energy hingga 95%. Informal recycling di Indonesia
mengkonsumsi lebih sedikit energi (1-2 kWh) tetapi dengan recovery rate jauh
lebih rendah dan dampak environmental hazard tinggi. Burning plastic components
untuk access PCB, metode umum di informal sector, menghasilkan toxic fumes dan
hanya recover 20-30% valuable materials.
Emisi Gas Rumah Kaca:
End-of-life emissions bervariasi drastis tergantung disposal pathway. Landfill
scenario menghasilkan sekitar 0.5 kg CO₂e dari methane emissions saat battery
degradation. Improper incineration dapat menghasilkan 2-3 kg CO₂e plus toxic
air pollutants. Formal recycling menghasilkan 2-3 kg CO₂e dari energy
consumption, tetapi ini offset by avoided emissions dari virgin material
extraction. Net benefit dari recycling adalah negative 10-15 kg CO₂e (emission
reduction) when considering substitution of virgin materials.
Penggunaan Air:
Hydrometallurgical recycling—metode kimia untuk extract logam dari
e-waste—mengkonsumsi 500-1000 liter air per smartphone. Proses ini menggunakan
acid leaching untuk dissolve metals, diikuti precipitation dan purification.
Wastewater yang dihasilkan highly contaminated dan membutuhkan extensive
treatment. Alternative pyrometallurgical method (smelting) tidak
water-intensive tetapi lebih energy-intensive dan menghasilkan air emissions.
Trade-off antara water dan energy use menjadi consideration penting dalam
pemilihan recycling technology.
Limbah Padat:
Recycling efficiency saat ini hanya recover 30-50% dari smartphone mass.
Sisanya—70-85%—menjadi residual waste yang landfilled. Plastic dan glass
components paling sulit di-recover karena mixed composition dan low economic
value. Mixed plastics dari phone casing tidak masuk plastic recycling stream
karena additives dan colorants. Glass dari display sudah di-strengthen dan
di-treat, sehingga tidak compatible dengan regular glass recycling. Residual
waste ini often mengandung traces dari heavy metals dan chemicals yang dapat
leach ke environment over time.
Hazardous Waste:
Battery disposal adalah concern paling serius. Lithium-ion batteries mengandung
cobalt, nickel, lithium, dan electrolyte organics yang highly toxic dan
flammable. Improper disposal—dibuang ke tempat sampah regular—dapat cause
landfill fires dan heavy metal leaching ke groundwater. Di Indonesia, estimasi
85% smartphone batteries berakhir di landfill atau informal sector yang tidak
equipped untuk handle hazardous materials safely. Battery yang punctured atau
crushed dapat cause thermal runaway dan fires. Long-term environmental impact
dari battery chemicals dalam soil dan groundwater belum fully understood tetapi
potentially severe.
Potensi Daur Ulang:
Despite challenges, smartphones sebenarnya salah satu e-waste dengan
recyclability potential tertinggi. Satu ton PCB dari smartphone mengandung
logam mulia lebih tinggi daripada satu ton gold ore dari tambang—sekitar 300
gram gold, 3 kilogram silver. Dengan technology yang proper, recovery rate bisa
mencapai 90-95% untuk logam. Battery recycling technology rapidly advancing:
direct recycling methods yang preserve cathode material structure dapat recover
95% battery materials dengan energy 50% lebih rendah dari current methods.
Modular design smartphones seperti Fairphone menunjukkan bahwa disassembly time
dapat reduced dari 30 menit menjadi 5 menit, making recycling economically
viable.
Indonesia Context:
Realitas di Indonesia sangat concerning. Hanya 5% e-waste masuk formal
recycling, 85% dikumpulkan informal sector dengan methods berbahaya (burning,
acid bath tanpa protection), dan 10% landfilled. Tidak ada infrastructure
memadai untuk battery collection dan processing. Government regulation belum
enforce extended producer responsibility (EPR) secara efektif. Consumer
awareness tentang proper disposal sangat rendah—survey menunjukkan 60% orang
tidak tahu kemana membawa e-waste. Economic value yang bisa di-recover dari
proper recycling—estimated Rp 7-10 juta per ton smartphone waste—loss karena
inefficient informal methods.
4. REFLEKSI PRIBADI
Apa yang Mengejutkan dari Hasil Observasi?
Yang paling mengejutkan saya adalah besarnya
"hidden impact" yang terjadi jauh sebelum produk sampai ke tangan
konsumen. Saya selalu berpikir bahwa dampak lingkungan terbesar dari smartphone
adalah pada fase penggunaan—listrik untuk charging setiap hari. Ternyata, 70-75%
dari total carbon footprint smartphone terjadi pada fase ekstraksi bahan baku
dan manufaktur. Ketika saya membeli smartphone seharga Rp 3 juta,
sebenarnya saya sudah "mengkonsumsi" 13.000 liter air, menghasilkan
15-25 kg CO₂e, dan secara tidak langsung berkontribusi pada child labor di
tambang cobalt Afrika.
Yang kedua mengejutkan adalah betapa pendeknya
siklus penggunaan produk dibanding potensi teknisnya. Smartphone yang saya
observasi secara teknis bisa bertahan 7-10 tahun, tetapi rata-rata konsumen
Indonesia mengganti setiap 3-4 tahun—bukan karena rusak, tetapi karena ingin
upgrade ke model baru atau merasa "ketinggalan zaman". Ini berarti kita
membuang 40-50% potensi masa pakai produk, yang secara agregat menghasilkan jutaan
ton e-waste prematur setiap tahunnya.
Ketiga, saya kaget dengan rendahnya tingkat
recycling di Indonesia (hanya 5%). Sebagian besar smartphone lama yang
dijual ke tukang loak sebenarnya tidak di-recycle secara proper—komponen
berharga diambil secara manual dengan cara berbahaya (pembakaran PCB untuk
ekstrak logam mulia), sisanya dibuang sembarangan. Padahal setiap smartphone
mengandung material berharga senilai hampir $8 yang bisa di-recover dengan
proper recycling technology.
Bagaimana Produk Dapat Didesain Ulang Agar
Lebih Ramah Lingkungan?
1. Design for Longevity:
Smartphone perlu dirancang untuk lifetime minimal 5-7 tahun dengan modular
design seperti Fairphone—memungkinkan penggantian komponen individual
(baterai, kamera, layar) tanpa harus ganti entire phone. Software support harus
diperpanjang minimal 5-7 tahun, bukan 2-3 tahun seperti sekarang. Standardisasi
charging port dan accessories untuk mengurangi e-waste dari charger dan cable
yang incompatible. Battery design yang mudah dilepas dan diganti consumer perlu
dikembalikan (seperti design pre-2015), sehingga battery degradation tidak
memaksa replacement seluruh phone.
2. Material Selection:
Mengurangi ketergantungan pada conflict minerals (cobalt) dengan riset
alternative battery chemistry (sodium-ion, solid-state). Menggunakan recycled
materials: recycled aluminum untuk body, ocean plastic untuk casing. Bio-based
plastics untuk komponen non-structural. Elimination of toxic substances seperti
beryllium, brominated flame retardants yang menyulitkan recycling.
3. Circular Business Model: Product-as-a-Service
model di mana konsumen lease smartphone, produsen maintain ownership dan
bertanggung jawab untuk end-of-life. Trade-in program yang aggressive dengan
refurbishment dan remarketing. "Right to Repair" legislation—produsen
wajib menyediakan spare parts dan repair manual. Take-back scheme dengan
deposit system (seperti bottle deposit) untuk ensure proper recycling.
4. Transparency & Traceability:
Blockchain-based supply chain tracking untuk memastikan ethical sourcing.
Carbon label pada packaging menunjukkan total lifecycle footprint. Material
passport digital yang memfasilitasi recycling dengan informasi lengkap tentang
material composition dan disassembly instructions.
Peran Saya sebagai Konsumen dalam
Mengurangi Dampak Siklus Hidup Produk
Tindakan Immediate yang Bisa Saya Lakukan:
Pre-Purchase (Paling Impactful): Extend
usage period—target menggunakan smartphone minimal 4-5 tahun, bukan 2-3
tahun. Pertimbangkan refurbished—membeli certified refurbished phone
mengurangi dampak hingga 80% karena manufacturing impact sudah diamortisasi. Buy
only what you need—hindari upgrade hanya karena FOMO atau marketing
pressure. Support ethical brands—prioritas brand dengan supply chain
transparency.
During Use: Optimize
charging habits—avoid overcharging, gunakan original charger, maintain
battery 20-80% level untuk memperpanjang battery lifespan. Protective
measures—gunakan case dan screen protector berkualitas untuk extend
physical lifespan. Software maintenance—regular updates, avoid
bloatware, factory reset when sluggish daripada langsung beli baru.
End-of-Life: Proper
disposal—NEVER buang ke tempat sampah biasa, bawa ke Samsung Service Center
atau e-waste collection point. Extend life through resale—jual atau
donate functional phone ke yang membutuhkan. Advocacy—edukasi
teman/keluarga tentang pentingnya proper e-waste management.
Systemic Change Advocacy: Demand
accountability—support regulation untuk extended producer responsibility
(EPR). Political engagement—dukung kebijakan right-to-repair di
Indonesia. Consumer pressure—review dan social media feedback mendorong
brand untuk sustainability.
Personal Commitment:
Setelah observasi ini, saya berkomitmen untuk menggunakan smartphone saya
saat ini minimal sampai 5 tahun (saat ini baru 2 tahun). Saya akan menolak
upgrade pressure dari marketing dan peer influence. Ketika saatnya ganti,
saya akan explore refurbished options terlebih dahulu sebelum beli baru.
Dan yang terpenting, saya akan actively share knowledge ini kepada
circle saya, karena perubahan sistemik dimulai dari kesadaran kolektif.
KESIMPULAN LIFECYCLE ASSESSMENT
Total Lifecycle Carbon Footprint: 55-75 kg
CO₂e per smartphone
Breakdown:
- 🏭
Manufacturing: 55% (30-41 kg)
- ⛏️ Raw
Material: 20% (11-15 kg)
- 🔌
Use Phase: 20% (11-15 kg)
- 🚚
Transport: 3% (1.6-2.3 kg)
- ♻️ End-of-Life:
2% (1.1-1.5 kg)
Perbandingan Dampak:
- 1
smartphone = driving mobil 300 km
- 1
smartphone = 30 kg beef consumption
- 1
smartphone = 3 penerbangan domestik Jakarta-Bali
Insight Utama:
Dampak terbesar adalah pada fase yang "invisible" bagi konsumen
(ekstraksi dan manufaktur). Strategi paling efektif adalah memperpanjang
masa pakai produk—setiap tahun tambahan penggunaan mengurangi environmental
impact per tahun hingga